Wednesday, April 3, 2013

Tugas


1106004506

Fary Hendrayana

Kebudayaan Indonesia

Multikulturalisme dan Globalisasi pada Kebudayaan Indonesia

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. (Wikipedia)

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. (Wikipedia)

Maka, multikulturalisme dan globalisasi berpijak pada nilai dan arti dari keberagaman dan macam budaya yang saling memiliki peran dan pengaruh seiring dengan dinamika perkembangan zaman dan kehidupan global saat ini.

Mengenai fenomena akan multikulturalisme dan globalisasi pada Kebudayaan Indonesia, telah kita ketahui mengundang banyak pro dan kontra. Hal ini adalah hal yang wajar saja, tetapi perlu kita telaah lebih lanjut dan perhatikan lebih dalam, nilai dan makna dari fenomena tersebut, sehingga kita dapat mencapai kesepakatan bersama yang dapat lebih membawa keberuntungan untuk semua pihak.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya dan suku etnik, hal ini memberikan ciri khas tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Namun, bangsa kita memiliki prinsip berpijak yang dominan merupakan gaya hidup orang Timur, yang berarti berlawanan atau bertentangan dengan gaya hidup orang Barat. Salah satu ciri umum kehidupan Timur adalah nilai spiritualnya yang lebih tinggi, dalam aspek adat budaya, tata krama, dan religi. Salah satu ciri umum kehidupan Barat adalah nilai materialisnya yang lebih tinggi dalam aspek ekonomi, kenegaraan, gaya hidup dan sebagainya. Sehingga dapat kita lihat sedikitnya satu nilai yang kontras antara budaya barat dan timur, Indonesia merupakan bagian dari budaya Timur, oleh karena itu, sudah sangat lumrah apabila adaptasi akan percampuran budaya yang terjadi menyebabkan berbagai ketidak cocokan atau kesulitan dalam hubungan satu sama lain.

Tetapi di sinilah kita perlu belajar, untuk bisa membuka diri dan bertoleransi pada perkembangan zaman. Ini semua merupakan pembelajaran bagi semua orang yang bersangkutan, kita mungkin tidak cocok dengan budaya barat karena sangat menentang prinsip dan nilai budaya kita, tetapi kita harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman ini. Bagaimana cara kita beradaptasi? Kenapa kita harus bertoleransi? Kita dapat memulai adaptasi kita dengan membuka diri kita akan nilai positif dari hal yang kita tentang, yang belum kita sadari waktu sebelumnya, sesudahnya kita dapat melihatnya, kemudian kita manfaatkan nilai positif itu dan kita aplikasikan dalam realita hidup kita, dengan demikian, akan dapat mengurangi rasa pertentangan bathin kita terhadap budaya baru tersebut. Misalnya, budaya kita menekankan prinsip berpakaian yang sopan dan tidak minim, khususnya bagi kaum perempuan, karena akan dapat mengundang hasrat atau memiliki nilai yang sangat tidak sopan, cobalah kita melihat kembali, hal itu memang kiranya memiliki efek negatif tersebut, tapi apa positifnya? Jika kita berpikir seperti itu, kita telah mengaktifkan kreativitas kita untuk “mencari”, ini menjadi nilai tambah bagi pribadi kita, menjadi “kreatif”. Apa yang positif? Kita lihat kenyataan sekarang, keadaannya sangat panas, akan sangat membantu kita untuk beraktivitas apabila kita menggunakan pakaian yang minim sehingga tidak terlalu gerah, itu satu, yang kedua, jika kita memakai pakaian minim, maka kita tentu akan memperlihatkan bagian tubuh kita lebih banyak, jika akan memperlihatkan lebih banyak, sebaiknya kita menjaga badan kita agar tidak mengusik kepercayaan diri kita, tidak mau kan kalau kita minim tetapi  bagian tubuh kita yang terbuka itu memiliki penyakit kulit, atau kelebihan lemak, atau sebagainya, hendaknya itu menjadi motivasi kita untuk menjaga kesehatan tubuh. Ketiga, berpintar-pintarlah menyesuaikan pakaian kita dengan situasi, keadaan, atau cuaca, jangan kita pakai di tempat yang berbahaya saat malam hari, atau saat hari begitu dingin, maka kita akan memiliki sikap “waspada” dalam memilih apa yang kita inginkan dengan menyesuaikan pada keadaan. Dan seterusnya ada banyak lagi, cara-cara kreatif seperti itu akan dapat membuat kita menjadi seseorang yang fleksibel, karena dinamika perubahan zaman sangat rentan dan terkadang tuntutannya berubah-ubah, apabila kita kaku dan hanya membenarkan nilai yang sudah terlalu lama kadaluwarsa akibatnya kita bisa tidak mahir beradaptasi dengan perubahan, fleksibel bagaikan air namun tetap memegang prinsip pribadi yang positif. Kenapa kita harus bertoleransi? Hal ini sudah pasti harus dilakukan, sebagai manusia, kita hidup di dunia bersama dengan manusia yang lain, manusia yang lain pun Dianugerahi Oleh Yang Maha Kuasa dengan ciri khasnya masing-masing yang mungkin membedakan mereka dengan kita, dengan bertoleransi berarti kita menghargai Tuhan dan ciptaan-Nya, karena perbedaan itu merupakan Kehendak Tuhan yang mutlak dan kodrati. Kedua, dengan bertoleransi maka kita memberikan ruang bagi pengertian kita untuk dapat memahami perbedaan pada tingkatan yang lebih jauh, sehingga kita tidak terlalu cepat menilai dan meningkatkan ketebalan dari kesalah pahaman yang dapat kita buat, sebab kesalahpahaman merupakan sebuah titik awal dari kericuhan, kerusakan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya, ini yang perlu kita cegah. Ketiga, dengan bertoleransi, maka kita bisa berintrospeksi diri juga, bagaimana maksudnya? Artinya, ketika kita bertoleransi, mencoba untuk memahami alasan orang lain lebih jauh serta latar belakangnya, kita dapat mengintrospeksi bahwa antara realita kita dan realita mereka berbeda, antara cara pertumbuhan kita dengan cara pertumbuhan mereka berbeda, antara lingkungan kita dengan lingkungan mereka berbeda! Dengan demikian, pastilah kualitas kita berbeda, cara kita berpikir berbeda, cara kita bertahan hidup berbeda, cara kita mengenal sesuatu hal berbeda, bukan berarti kita benar, mereka salah dan sebaliknya artinya, kita dan mereka memiliki kekurangan dan keunggulan yang berbeda-beda, ini harus dapat kita hargai dan pahami, sesudahnya demikian, apabila kita bersatu dengan mereka, bukan selalu berarti kita merusak jati diri, tetapi justru kita membuka pada kemungkinan baru untuk saling melengkapi dan bekerja sama untuk memajukan peradaban manusia menjadi lebih maju lagi. Itu yang harus kita dapat pahami, hal demikian juga menyimpan potensi yang sangat mendasarkan untuk “mendewasakan” kita semua masing-masing.

Namun disayangkan, bahwa pada zaman sekarang, kenyataannya tidak selalu seperti itu, meskipun proses yang demikian ada juga yang berhasil berjalan, tetapi merasa diri kita paling benar merupakan sikap yang masih ada dan dominan dalam bangsa kita, merasa diri kita paling benar, paling suci, dan paling baik dari bangsa lain disertai berbagai alasannya. Hal demikian menjadi sebuah penilaian yang tidak adil dan takabur, sebab kita justru membutakan diri kita sendiri dengan berprinsip seperti itu, terhadap kemajuan zaman dan kekayaan kehidupan. Ini yang disayangkan, hanya karena perbedaan, perpecahan menjadi-jadi, oleh sebab itu, kita seharusnya menggunakan lebih banyak waktu untuk melihat dan mengintrospeksi diri kita sendiri dibanding dengan mencari-cari kesalahan orang lain dan menjelekkan orang lain, parahnya, banyak dari masyarakat kita justru mengatasnamakan agama untuk menyerang perbedaan budaya, atau mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan penyerangan itu. Ini merupakan fakta yang sangat konyol, sebab Tuhan sendiri tidak pernah secara langsung memberi tahu mereka untuk menjadi demikian, jika mereka melihat kembali pada inti dari ajaran agama mereka masing-masing semustinya mereka dapat menyadari, bahwa semua agama, mengajarkan manusia untuk bisa RUKUN satu sama lain, itu saja, perbedaan cara dalam mengamalkan ibadah masing-masing seharusnya menjadi hak masing-masing. Dan apabila mereka mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa, seharusnya mereka memahami, bahwa pada Pancasila tercantum nilai-nilai yang menjunjung tinggi perbedaan dan kerukunan secara esensial dan substansial. Yang tertera pada Pancasila yaitu :

1. KeTuhanan  Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada lima sila tersebut, bagi orang yang berpikir, seharusnya mereka dapat menyadari, itu semua merupakan fondasi dari menghargai perbedaan dan kerukunan, tetapi ironisnya, kita sendirilah yang menjauhi nilai esensial dari Pancasila itu sendiri, namun mengatakan bahwa kita menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Bagaimana tidak? Sila pertama, KeTuhanan Yang Maha Esa, sudah jelas berarti kita Menyembah Tuhan Yang Maha Esa, berarti kita seharusnya Menjalani Perintahnya untuk berbuat baik kepada sesama manusia, apabila dalam agama ada sebutan yang mengalienasi orang yang beragama berbeda, kita harus melihat sekali lagi, hal itu disampaikan pada masa zaman nabi, zaman di mana penyebaran agama Diperjuangkan dan terhadap para pemerang agama Islam pada zaman itu, kita harus menyadari itu, bukan berarti peperangan itu harus kita amalkan hingga zaman sekarang, karena perintah itu langsung diterima oleh nabi, tetapi banyak golongan kita merasa ingin menjadi nabi atau bahkan merasa dirinya adalah nabi, ini yang keliru, tidak ada klarifikasi pasti akan hal itu. Ini bukan hal retoris, melainkan hal reflektif, pada intinya, kita harus bisa menimbang, apa tindakan yang akan kita lakukan itu akan lebih berkontribusi pada kedamaian dunia atau kerusakan dunia? Juga jika kita menggencarkan masalah khiamat, kita telah lupa pada diri kita sendiri, bahwa masalah itu ada Di Tangan Yang Maha Kuasa, apabila kita merasa harus membela atau memaksakan kehendak kita terhadap agama orang lain yang berbeda, hal ini dapat menjadi sebuah gangguan pada kedamaian universal. Ini yang menjadi masalah, tidak semua orang sependapat, tetapi masalahnya, beberapa pendapat yang berbeda justru merusak semua orang, maka sekali lagi kita harus menimbang dengan tanggung jawab, apakah kita lebih berkontribusi pada kerusakan dunia, atau kedamaian dunia? Sila kedua hingga sila kelima, apa yang masih kurang jelas mengenai “perbedaan dan kerukunan”? Sudah jelas, kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menghargai perbedaan dan kerukunan melalui hak masing-masing serta menghormati orang lain. Persatuan Indonesia, sudah jelas tidak boleh ada perpecahan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan setidaknya berarti jangan bermain hakim sendiri, tetapi harus dengan perwakilan yang berwajib dan nilai kebijaksanaan, artinya setimpal antara yang menjadi perkara dan menjadi solusi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah tentu menghargai hak sosial yang memiliki nilainya masing-masing. Tidak ada sila yang mencantumkan bahwa sebuah agama adalah yang paling benar di antara yang lain, jika kita melihat lebih dalam lagi, kita menyadari bahwa, sebuah agama adalah yang terbaik bagi seseorang saja, namun bagi orang lain belum tentu sama, hal demikian adalah lebih adil dan lebih bijaksana dalam menghargai keberagaman dan perbedaan yang ada. Tetapi yang lucu adalah kita berkata, bahwa Pancasila adalah ideologi dasar dari negara kita dan bangsa kita. Ini yang perlu kita perbaiki, perhatikan, dan kita rubah menjadi lebih baik dalam keseharian kita.

Apa hubungannya pembahasan Pancasila mengenai fenomena multikulturalisme dan globalisasi? Hubungannya sudah tentu esensial, bahwa nilai-nilai pada pancasila merupakan kunci-kunci adaptasi dalam menanggapi dan mengkritik fenomena multikulturalisme dan globalisasi yang terjadi pada Kebudayaan Indonesia itu sendiri. Kita tidak bisa mencegah globalisasi atau multikulturalisme yang sebagian kelompok tertentu tidak inginkan, karena sudah tentu proses itu berjalan dengan sendirinya seiring dengan kemajuan zaman yang kita hidupkan.

Bagi sebagian orang mungkin ini dianggap retoris, tetapi tidak, ini merupakan refleksi, jika kita melihat kembali, memperhatikan kembali, membuka kembali akan kenyataan yang kita lupakan, maka kita dapat sedikit lebih dekat pada kenyataan yang sesungguh-sungguhnya bahwa kesalahan bukanlah terletak pada orang lain, tetapi pada diri kita sendiri yang mencemarkannya kepada orang yang lain.


No comments:

Post a Comment