1106004506
Fary Hendrayana
Kebudayaan Indonesia
Multikulturalisme
dan Globalisasi pada Kebudayaan Indonesia
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan
berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka
anut. (Wikipedia)
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di
seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan
bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi
semakin sempit. (Wikipedia)
Maka,
multikulturalisme dan globalisasi berpijak pada nilai dan arti dari keberagaman
dan macam budaya yang saling memiliki peran dan pengaruh seiring dengan
dinamika perkembangan zaman dan kehidupan global saat ini.
Mengenai
fenomena akan multikulturalisme dan globalisasi pada Kebudayaan Indonesia,
telah kita ketahui mengundang banyak pro dan kontra. Hal ini adalah hal yang
wajar saja, tetapi perlu kita telaah lebih lanjut dan perhatikan lebih dalam,
nilai dan makna dari fenomena tersebut, sehingga kita dapat mencapai
kesepakatan bersama yang dapat lebih membawa keberuntungan untuk semua pihak.
Indonesia
adalah negara yang sangat kaya akan budaya dan suku etnik, hal ini memberikan
ciri khas tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Namun, bangsa
kita memiliki prinsip berpijak yang dominan merupakan gaya hidup orang Timur,
yang berarti berlawanan atau bertentangan dengan gaya hidup orang Barat. Salah
satu ciri umum kehidupan Timur adalah nilai spiritualnya yang lebih tinggi,
dalam aspek adat budaya, tata krama, dan religi. Salah satu ciri umum kehidupan
Barat adalah nilai materialisnya yang lebih tinggi dalam aspek ekonomi,
kenegaraan, gaya hidup dan sebagainya. Sehingga dapat kita lihat sedikitnya
satu nilai yang kontras antara budaya barat dan timur, Indonesia merupakan
bagian dari budaya Timur, oleh karena itu, sudah sangat lumrah apabila adaptasi
akan percampuran budaya yang terjadi menyebabkan berbagai ketidak cocokan atau
kesulitan dalam hubungan satu sama lain.
Tetapi
di sinilah kita perlu belajar, untuk bisa membuka diri dan bertoleransi pada
perkembangan zaman. Ini semua merupakan pembelajaran bagi semua orang yang
bersangkutan, kita mungkin tidak cocok dengan budaya barat karena sangat
menentang prinsip dan nilai budaya kita, tetapi kita harus bisa beradaptasi
dengan perkembangan zaman ini. Bagaimana cara kita beradaptasi? Kenapa kita
harus bertoleransi? Kita dapat memulai adaptasi kita dengan membuka diri kita
akan nilai positif dari hal yang kita tentang, yang belum kita sadari waktu
sebelumnya, sesudahnya kita dapat melihatnya, kemudian kita manfaatkan nilai
positif itu dan kita aplikasikan dalam realita hidup kita, dengan demikian, akan
dapat mengurangi rasa pertentangan bathin kita terhadap budaya baru tersebut.
Misalnya, budaya kita menekankan prinsip berpakaian yang sopan dan tidak minim,
khususnya bagi kaum perempuan, karena akan dapat mengundang hasrat atau
memiliki nilai yang sangat tidak sopan, cobalah kita melihat kembali, hal itu
memang kiranya memiliki efek negatif tersebut, tapi apa positifnya? Jika kita
berpikir seperti itu, kita telah mengaktifkan kreativitas kita untuk “mencari”,
ini menjadi nilai tambah bagi pribadi kita, menjadi “kreatif”. Apa yang
positif? Kita lihat kenyataan sekarang, keadaannya sangat panas, akan sangat
membantu kita untuk beraktivitas apabila kita menggunakan pakaian yang minim
sehingga tidak terlalu gerah, itu satu, yang kedua, jika kita memakai pakaian
minim, maka kita tentu akan memperlihatkan bagian tubuh kita lebih banyak, jika
akan memperlihatkan lebih banyak, sebaiknya kita menjaga badan kita agar tidak
mengusik kepercayaan diri kita, tidak mau kan kalau kita minim tetapi bagian tubuh kita yang terbuka itu memiliki
penyakit kulit, atau kelebihan lemak, atau sebagainya, hendaknya itu menjadi
motivasi kita untuk menjaga kesehatan tubuh. Ketiga, berpintar-pintarlah
menyesuaikan pakaian kita dengan situasi, keadaan, atau cuaca, jangan kita
pakai di tempat yang berbahaya saat malam hari, atau saat hari begitu dingin,
maka kita akan memiliki sikap “waspada” dalam memilih apa yang kita inginkan
dengan menyesuaikan pada keadaan. Dan seterusnya ada banyak lagi, cara-cara
kreatif seperti itu akan dapat membuat kita menjadi seseorang yang fleksibel,
karena dinamika perubahan zaman sangat rentan dan terkadang tuntutannya
berubah-ubah, apabila kita kaku dan hanya membenarkan nilai yang sudah terlalu
lama kadaluwarsa akibatnya kita bisa tidak mahir beradaptasi dengan perubahan,
fleksibel bagaikan air namun tetap memegang prinsip pribadi yang positif.
Kenapa kita harus bertoleransi? Hal ini sudah pasti harus dilakukan, sebagai
manusia, kita hidup di dunia bersama dengan manusia yang lain, manusia yang
lain pun Dianugerahi Oleh Yang Maha Kuasa dengan ciri khasnya masing-masing
yang mungkin membedakan mereka dengan kita, dengan bertoleransi berarti kita
menghargai Tuhan dan ciptaan-Nya, karena perbedaan itu merupakan Kehendak Tuhan
yang mutlak dan kodrati. Kedua, dengan bertoleransi maka kita memberikan ruang
bagi pengertian kita untuk dapat memahami perbedaan pada tingkatan yang lebih
jauh, sehingga kita tidak terlalu cepat menilai dan meningkatkan ketebalan dari
kesalah pahaman yang dapat kita buat, sebab kesalahpahaman merupakan sebuah
titik awal dari kericuhan, kerusakan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya,
ini yang perlu kita cegah. Ketiga, dengan bertoleransi, maka kita bisa
berintrospeksi diri juga, bagaimana maksudnya? Artinya, ketika kita
bertoleransi, mencoba untuk memahami alasan orang lain lebih jauh serta latar
belakangnya, kita dapat mengintrospeksi bahwa antara realita kita dan realita
mereka berbeda, antara cara pertumbuhan kita dengan cara pertumbuhan mereka
berbeda, antara lingkungan kita dengan lingkungan mereka berbeda! Dengan
demikian, pastilah kualitas kita berbeda, cara kita berpikir berbeda, cara kita
bertahan hidup berbeda, cara kita mengenal sesuatu hal berbeda, bukan berarti
kita benar, mereka salah dan sebaliknya artinya, kita dan mereka memiliki
kekurangan dan keunggulan yang berbeda-beda, ini harus dapat kita hargai dan
pahami, sesudahnya demikian, apabila kita bersatu dengan mereka, bukan selalu
berarti kita merusak jati diri, tetapi justru kita membuka pada kemungkinan
baru untuk saling melengkapi dan bekerja sama untuk memajukan peradaban manusia
menjadi lebih maju lagi. Itu yang harus kita dapat pahami, hal demikian juga
menyimpan potensi yang sangat mendasarkan untuk “mendewasakan” kita semua
masing-masing.
Namun
disayangkan, bahwa pada zaman sekarang, kenyataannya tidak selalu seperti itu,
meskipun proses yang demikian ada juga yang berhasil berjalan, tetapi merasa
diri kita paling benar merupakan sikap yang masih ada dan dominan dalam bangsa
kita, merasa diri kita paling benar, paling suci, dan paling baik dari bangsa
lain disertai berbagai alasannya. Hal demikian menjadi sebuah penilaian yang
tidak adil dan takabur, sebab kita justru membutakan diri kita sendiri dengan
berprinsip seperti itu, terhadap kemajuan zaman dan kekayaan kehidupan. Ini
yang disayangkan, hanya karena perbedaan, perpecahan menjadi-jadi, oleh sebab
itu, kita seharusnya menggunakan lebih banyak waktu untuk melihat dan
mengintrospeksi diri kita sendiri dibanding dengan mencari-cari kesalahan orang
lain dan menjelekkan orang lain, parahnya, banyak dari masyarakat kita justru
mengatasnamakan agama untuk menyerang perbedaan budaya, atau mengatasnamakan
Tuhan untuk melakukan penyerangan itu. Ini merupakan fakta yang sangat konyol,
sebab Tuhan sendiri tidak pernah secara langsung memberi tahu mereka untuk
menjadi demikian, jika mereka melihat kembali pada inti dari ajaran agama
mereka masing-masing semustinya mereka dapat menyadari, bahwa semua agama,
mengajarkan manusia untuk bisa RUKUN satu sama lain, itu saja, perbedaan cara
dalam mengamalkan ibadah masing-masing seharusnya menjadi hak masing-masing.
Dan apabila mereka mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa, seharusnya
mereka memahami, bahwa pada Pancasila tercantum nilai-nilai yang menjunjung
tinggi perbedaan dan kerukunan secara esensial dan substansial. Yang tertera
pada Pancasila yaitu :
1. KeTuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
1. KeTuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada lima sila
tersebut, bagi orang yang berpikir, seharusnya mereka dapat menyadari, itu
semua merupakan fondasi dari menghargai perbedaan dan kerukunan, tetapi
ironisnya, kita sendirilah yang menjauhi nilai esensial dari Pancasila itu
sendiri, namun mengatakan bahwa kita menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Bagaimana tidak? Sila pertama, KeTuhanan Yang Maha Esa, sudah jelas berarti
kita Menyembah Tuhan Yang Maha Esa, berarti kita seharusnya Menjalani
Perintahnya untuk berbuat baik kepada sesama manusia, apabila dalam agama ada
sebutan yang mengalienasi orang yang beragama berbeda, kita harus melihat
sekali lagi, hal itu disampaikan pada masa zaman nabi, zaman di mana penyebaran
agama Diperjuangkan dan terhadap para pemerang agama Islam pada zaman itu, kita
harus menyadari itu, bukan berarti peperangan itu harus kita amalkan hingga
zaman sekarang, karena perintah itu langsung diterima oleh nabi, tetapi banyak
golongan kita merasa ingin menjadi nabi atau bahkan merasa dirinya adalah nabi,
ini yang keliru, tidak ada klarifikasi pasti akan hal itu. Ini bukan hal
retoris, melainkan hal reflektif, pada intinya, kita harus bisa menimbang, apa
tindakan yang akan kita lakukan itu akan lebih berkontribusi pada kedamaian
dunia atau kerusakan dunia? Juga jika kita menggencarkan masalah khiamat, kita
telah lupa pada diri kita sendiri, bahwa masalah itu ada Di Tangan Yang Maha
Kuasa, apabila kita merasa harus membela atau memaksakan kehendak kita terhadap
agama orang lain yang berbeda, hal ini dapat menjadi sebuah gangguan pada
kedamaian universal. Ini yang menjadi masalah, tidak semua orang sependapat,
tetapi masalahnya, beberapa pendapat yang berbeda justru merusak semua orang,
maka sekali lagi kita harus menimbang dengan tanggung jawab, apakah kita lebih
berkontribusi pada kerusakan dunia, atau kedamaian dunia? Sila kedua hingga
sila kelima, apa yang masih kurang jelas mengenai “perbedaan dan kerukunan”?
Sudah jelas, kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menghargai perbedaan dan
kerukunan melalui hak masing-masing serta menghormati orang lain. Persatuan
Indonesia, sudah jelas tidak boleh ada perpecahan. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan setidaknya berarti
jangan bermain hakim sendiri, tetapi harus dengan perwakilan yang berwajib dan
nilai kebijaksanaan, artinya setimpal antara yang menjadi perkara dan menjadi
solusi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah tentu menghargai
hak sosial yang memiliki nilainya masing-masing. Tidak ada sila yang
mencantumkan bahwa sebuah agama adalah yang paling benar di antara yang lain,
jika kita melihat lebih dalam lagi, kita menyadari bahwa, sebuah agama adalah
yang terbaik bagi seseorang saja, namun bagi orang lain belum tentu sama, hal demikian
adalah lebih adil dan lebih bijaksana dalam menghargai keberagaman dan
perbedaan yang ada. Tetapi yang lucu adalah kita berkata, bahwa Pancasila
adalah ideologi dasar dari negara kita dan bangsa kita. Ini yang perlu kita
perbaiki, perhatikan, dan kita rubah menjadi lebih baik dalam keseharian kita.
Apa
hubungannya pembahasan Pancasila mengenai fenomena multikulturalisme dan
globalisasi? Hubungannya sudah tentu esensial, bahwa nilai-nilai pada pancasila
merupakan kunci-kunci adaptasi dalam menanggapi dan mengkritik fenomena
multikulturalisme dan globalisasi yang terjadi pada Kebudayaan Indonesia itu
sendiri. Kita tidak bisa mencegah globalisasi atau multikulturalisme yang
sebagian kelompok tertentu tidak inginkan, karena sudah tentu proses itu
berjalan dengan sendirinya seiring dengan kemajuan zaman yang kita hidupkan.
Bagi
sebagian orang mungkin ini dianggap retoris, tetapi tidak, ini merupakan
refleksi, jika kita melihat kembali, memperhatikan kembali, membuka kembali
akan kenyataan yang kita lupakan, maka kita dapat sedikit lebih dekat pada
kenyataan yang sesungguh-sungguhnya bahwa kesalahan bukanlah terletak pada
orang lain, tetapi pada diri kita sendiri yang mencemarkannya kepada orang yang
lain.